Lasted Post

Kris

    • Kris.
      “Bisakah kau menunggu? Tenang saja, aku akan kembali padamu.” Tangan besarnya membelai rambutku.
      “Baiklah, aku akan menunggu. Tapi, kau harus berjanji kalau kau akan kembali.”
      Lelaki yang memiliki hidung mancung itu tersenyum, mata birunya berbinar. “Iya, aku berjanji.” Ia menunjukkan kelingkingnya di depan wajahku. Kutarik ujung-ujung bibir, lalu menautkan jari kelingking pada kelingkingnya.
      Ya Tuhan, bisakah kau menghentikan waktu sebentar saja?
      ***
      “Kris! Tidak! Beginikah caramu mencintai seseorang?”
      “Iya, begini caraku mencintaimu, Rore.”
      “Kris,”
      ***
      Semua sudah sepuluh tahun. Aku masih menunggu. Begitu bodohnya aku membiarkan dia pergi dan membiarkan diri untuk menunggu. Begitu bodohnya aku karena terlalu percaya padanya. Mana janjinya? Dia tidak kunjung kembali. Atau tidak akan pernah kembali?
      Apakah dia tahu? Aku telah menolak ratusan atau mungkin ribuan lelaki yang menyatakan perasaan cintanya padaku. Semua hanya demi dia, Kris. Orang yang dulu selalu berada di sampingku. Mengusap air mataku ketika aku menangis. Orang yang selalu melakukan hal-hal gila demi membuatku tertawa. Orang yang tidak pernah meninggalkanku ketika aku sedang banyak masalah, merawatku ketika aku sakit, menuliskan catatan pelajaran ketika aku tidak masuk sekolah. Orang yang membuatku jatuh ke cinta dan tidak bisa berpaling pada orang lain.
      Kupandangi sebuah foto yang berbingkai ungu. Di dalam foto itu, dia memamerkan gigi putihnya yang berderet rapi. Tangan kanannya memegang kepalaku, sementara tangan kirinya mencubit pipiku. Kami terlihat bahagia. Padahal, itu adalah hari terakhir kita bertemu. Dan, foto itu diambil sebelum Kris kehilangan kedua adiknya.
      Ah, seandainya saat itu aku tidak membiarkannya pergi, aku tidak perlu menunggu seperti ini. Aku tidak perlu merasa kecewa karena dia belum menepati janjinya. Tidak perlu ada rasa rindu yang tinggi yang perlu aku rasakan. Seandainya waktu bisa diulang kembali. Seandainya.
      “Aurore,” Karena aku terlalu rindu padanya, aku sampai mendengar dia sedang memanggil namaku.
      “Aurore,” Aku menutup telinga. Kris tidak ada di sini
      “Aurore, lihatlah seseorang yang di belakangmu.” Aku menoleh. Aku sampai tidak percaya pada penglihatanku. Itu Kris. Dia masih sama. Mata birunya, hidung mancungnya. Tidak ada yang berubah selain tinggi badannya.
      “Kris, apakah itu kau?”
      Kris tersenyum. Senyum yang sama seperti sepuluh tahun lalu. “Tentu saja. apakah kau tidak berniat untuk memelukku?” Dia merentangkan kedua tangannya.
      Aku segera berdiri dan menghambur memeluknya. Kuletakkan kepalaku di dada bidangnya. Ada yang aneh. Aku mencium aroma bahan kimia yang menempel pada jas yang dikenakannya. Ah, mungkin ini hanya perasaanku saja.
      Tangannya membelai rambut cokelatku. “Aku sangat rindu denganmu, Aurore. Apakah kau sekarang sudah menikah?”
      Kulepaskan pelukan, “Apa maksudmu? Aku belum menikah! Aku menunggumu kembali, Kris!”
      “Kau menepati janjimu, Aurore. Ayo, kita jalan-jalan sebentar untuk melepas rindu. Bagaimana jika kau kubelikan es krim rasa coklat? Kau masih menyukainya, bukan?”
      Kami berjalan berdampingan. Dia menggenggam tanganku sangat erat. Seolah aku akan pergi jauh darinya. “Tanganku sakit, Kris.” Dia melonggarkan genggamannya. “Maaf,”
       Kedai es krim sudah di depan mata. Langkah kaki kami terhenti. “Kau tunggu di sini ya, Aurore. Akan kubelikan es krim favoritmu.”
      Aku mengangguk. Lagi-lagi, aku harus menunggu. Aku merasa ada yang berbeda dari Kris. Aku tidak tahu apa yang berbeda. Entahlah, ini sulit untuk dijelaskan. Aku hanya merasa, aura Kris berbeda. Saat dipelukannya tadi, aku tidak merasakan kehangatan apa pun. Tidak sama seperti dulu.
      Ah, aku hampir lupa kalau itu sudah sepuluh tahun yang lalu. Wajar saja kan, jika seseorang berubah? Sepuluh tahun itu, bukan waktu yang sebentar, bukan? Atau, perubahannya itu hanya perasaanku saja?
      “Ini es krim kesukaanmu,”
      Aku menoleh, kemudian tersenyum, “Terimakasih Kris. Kau tidak lupa apa yang kusukai.”
      “Itu wajar Aurore. Mana mungkin aku melupakan kesukaan orang yang kucintai.”
      ***
      Kepalaku pusing. Tanganku terikat. Hei, aku ada di mana? Bau apa ini? Ini seperti bau bahan kimia.  Perlahan-lahan mataku terbuka.
      “AAAAAAAAA” Aku menjerit sejadi-jadinya. Ini mimpi kan? Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. Aku yakin, ini pasti hanya sebuah mimpi. Bangun, Rore. Bangun. Kupejamkan mata erat-erat, berusaha untuk tidur. Dan saat bangun, aku sedang berada di rumah. Aku yakin, ini pasti hanya sebuah mimpi.
      ***
      Aduh, tanganku masih terikat. Tidak! Ini bukan mimpi. Tidak mungkin. Tidak mungkin. Siapa yang melakukan semua ini? Siapa yang mengikatku di sini? Aku tidak ingin membuka mata. Pemandangan yang ada hidapanku benar-benar bisa membuat jantungku copot.
      “Aurore, bangunlah. Aku tahu kau sudah sadar.” Itu, itu suara Kris.
      Benar, itu suara Kris. Aku pasti sudah aman. Kris pasti sudah menyelamatkanku. Ia hanya lupa untuk melepaskan ikatan tanganku. Tapi, bau ini masih sama seperti tadi. Kuberanikan diri untuk membuka mata pelan-pelan.
      “AAAAAAAA”
      Ruangan ini masih sama seperti tadi! Tidak mungkin!
      “Jangan takut Aurore. Ini aku, Kris. Kenapa kau menjerit?”
      Bodoh! Bagaimana aku tidak menjerit? Aku melihat Kristal dan Kristie. Mereka berada di sebuah lemari kaca. Aku yakin, aku tidak salah lihat. Itu jelas Kristal dan Kristie. Adik kembar Kris yang meninggal sepuluh tahun lalu. Kristal meninggal karena terkena kangker. Sementara Kristie meninggal bunuh diri karena depresi kehilangan kembarannya. Yang di hadapanku ini pasti adalah mayat. Mayat yang diawetkan.
      Siapa yang melakukan ini? Kris, tidak mungkin. Ia tidak mungkin tega melakukan semua ini. Kris adalah orang yang sangat baik hati. Ia tidak mungkin sekejam ini. Lalu, kenapa Kris ada di sini?
      “Jangan menangis, Aurore. Kau tidak perlu takut. Kris pahlawanmu, ada di sini.” Ia mengusap air mataku.
      “Kris! Siapa yang melakukan semua ini? Siapa yang membawaku kemari?”
      Pria yang memiliki hidung mancung itu mundur beberapa langkah. “Aku.” Jawabnya sambil tersenyum.
      “Tidak! Jangan berbohong, Kris!”
      Pria bermata biru itu tertawa terbahak-bahak. Tawa yang menyeramkan. Ini bukan Kris. Kris tidak mungkin seperti ini! Bagaimana bisa, ia melakukan semua ini?
      “Tentu saja aku tidak berbohong. Aku yang melakukan semua ini. Aku melakukan semua ini karena aku mencintai Kristal dan Kristie. Dan, kau Aurore,”  telunjuknya diarahkan padaku. “Akan bernasib sama seperti mereka.
      “Kenapa kau melakukan ini padaku, Kris? Aku telah menunggumu bertahun-tahun! Aku mencintaimu dengan sepenuh hati! Dan inikah jawabannya?”
      “Aku melakukan ini karena aku mencintaimu Aurore,”
      “Kris! Tidak! Beginikah caramu mencintai seseorang?”
      “Iya, begini caraku mencintai seseorang.”
      “Kris,” buliran-buliran bening keluar dari sudut mataku. Pandanganku buram. Hatiku hancur sehancur hancurnya. Tubuhku lemas. Keringatku bercucuran. Ketakutan, kekecewaan, kesedihan. Semua berbaur menjadi satu. Ini tidak mungkin, tidak mungkin.
      “Sebentar lagi kau akan mati. Aku sudah memasukkan racun dalam tubuhmu. Es krim yang kau makan tadi, ada racunnya. Kau akan menjadi milikku seutuhnya, Aurore.”
      Tidak mungkin.
      “Jika kau berpikir aku telah berubah, kau salah besar! Aku memang sejak dulu seperti ini. Hanya kau saja yang tidak mengetahuinya.”

      Tidak mungkin.
    • Posted by Refa Annisa
    • 0 Comments
    • Tag :
    • Readmore . . .
    • Add Comment

No Good in Goodbye

    • No Good in Goodbye
      Oleh Anis Stiyani

      “Sebaiknya... kita sampai di sini saja...” Bisikan lirih yang nyaris serupa desauan angin di akhir musim kemarau membuatku mengalihkan pandangan ke arahnya. Tak kupedulikan lagi aliran air yang terus menderas di bawah jembatan tempatku berpijak sejak setengah jam yang lalu bersamanya.
      “Apa?” timpalku dengan suara tercekat, seakan tiba-tiba saja aliran sampah yang berputar-putar di pilar-pilar beton jembatan berpindah ke tenggorokanku.
      Bukan kali pertama, kalimat seperti ini meluncur dari bibir merah cherry miliknya. Tapi tetap saja, rasanya sama. Sama-sama menakutkan. Aku takut kehilangan dia setiap waktu.
      “Bukankah kita sama-sama tahu, sejak awal ini salah?” ada getar yang sempat tertangkap oleh telingaku di ujung kalimatnya. Ada apa ini? ini hanya main-main, kan?
      “Begitu?” tukasku berusaha tenang. Dia mengangguk mantap, lalu tanpa melihatku lagi, dia melangkah pergi.
      Goodbye...” ujarnya lirih yang masih bisa tertangkap telingaku.
      Aku masih terdiam melihat punggung kecilnya yang mulai menjauh dari penglihatanku. Aku masih tak bergerak, masih berharap bahwa dia akan berbalik, lalu berlari ke pelukanku sambil meneriakan ‘April mop!!!’ untukku. Tapi dia tetap melangkah sampai tiba di ujung jembatan. Saat itulah aku sadar, ketakutan terbesarku terjadi, dia benar-benar pergi.
      Bodoh, bulan April sudah berlalu.
      ***
      “Anye...” bisikku lirih. Sambil menoleh kiri-kanan, memastikan orang-orang tak terganggu dengan suaraku.
      Gadis dengan kaca mata baca berbingkai bulat itu masih saja diam, larut dalam buku setebal balok es di hadapannya. Rasanya gemas sekali, ingin menendang buku itu jauh-jauh dari hadapan gadis di sebelahku ini.
      “Anye...” kunaikkan lagi suaraku, beberapa desibel, berharap dia terusik dan menoleh ke arahku. Tapi yang terjadi sebaliknya, dia masih tetap fokus dengan buku sialan itu, sementara aku dihadiahi tatapan ganas dari pengunjung perpustakaan. Good Job, Bima!
      Dengan sisa-sisa kekesalan yang kupunya, kutarik paksa buku tebal yang masih saja digeluti gadis ini. Wajahnya menoleh kepadaku. Oke, sepertinya ini tidak bagus. Dia seperti induk ayam yang merasa terganggu karena anaknya diambil. Aku meringis sekilas,
      “Anye, kan?” tanyaku memastikan.
      Gadis di sebelahku ini merengut sadis, lalu menarik bukunya yang berada dalam kekuasaanku. Dia terlihat mengaduk-aduk isi tasnya, lalu setelah menemukan sebuah pembatas buku dari kertas papirus dengan gambar kucing berwarna biru, diselipkannya pembatas buku itu di tempat terakhir ia membukanya tadi.
      “Bukan.” Ia menyahut singkat. Menutup bukunya, berlalu pergi dengan menyandang tas ransel hitam yang terlihat penuh itu. Uh, pasti berat sekali. Aku meringis dalam hati.
      “Anyelir Aprilia, benar?” seruku ketika keluar dari ruang baca perpustakaan pusat, masih dengan mengekor gadis yang tengah berjalan cepat sambil mendekap buku tebal tadi di dadanya.
      “Apa?” sentaknya dengan nada sinis setelah berbalik menghadapku. Aku meringis menyambuti wajah tidak bersahabat yang ia tampilkan. Kaca mata burung hantu yang tadi dipakainya sudah tidak ada di sana.
      “Benar kan, Anyelir Aprilia?” tanyaku sekali lagi. Hanya ingin memastikan. Gadis di hadapanku ini mengangguk sekilas, lalu membalikkan tubuhnya lagi, hendak pergi.
      “Lalu kenapa diam saja saat kupanggil tadi?” gumamku menjajari langkahnya. Kulirik sekilas, dia nampak memutar bola matanya jengah. Hei, bola matanya berwarna coklat terang, seperti karamel.
      Kurasa manis dan meleleh adalah perpaduan yang pas untuk kami saat ini. Dia yang manis, berhasil membuatku meleleh.
      Heish, what a creepy I am!
      “Memanggil? Kapan?” tanyanya sambil menelengkan kepala.
      “Tadi. Anye... seperti itu,” ujarku kembali mempraktikan caraku memanggilnya.
      “Oh, itu. Kukira kau sedang memanggil orang lain,” tanggapnya santai lantas kembali melangkah.
      “Jadi, bagaimana orang-orang biasa memanggilmu?” kejarku, masih penasaran.
      Dia menaikkan sebelah alisnya, sekilas. Terlihat menimbang sebelum menjawab pertanyaanku tadi, “April.” Lalu dia berlalu begitu saja dari hadapanku.
      ***
      Adakah hal bagus dari kata sebaiknya jika diikuti kata berpisah setelahnya? Sampai bolak-balik seribu kali mengepel Tembok Besar China pun, aku tidak bisa mendapatkan korelasi yang baik antara keduanya.
      Aku masih ingat dengan raut wajahnya beberapa malam yang lalu, saat pertemuan terakhir kami. Saat dengan tanpa perasaan dia mengakhiri hubungan kami. Tunggu, hubungan macam apa yang tengah kubicarakan sebelumnya? Tsk, melihat reaksinya saat berada di sisiku selama ini, sepertinya hanya aku saja yang menganggap bahwa hubungan ini nyata, bahwa rasaku nyata—nyata-nyata bertepuk sebelah tangan, sial!
      Boy... aku takut bola matamu menggelinding ke mangkuk bakso-ku. Please, temui dia jika kau merasa perlu...” dengus Mikail terlihat bosan.
      Aku menggeleng lemah, menggeser-geser layar ponselku secara acak, tanpa minat. Tatapan mataku masih sama, mengarah pada satu titik—seperti saat aku dan Mikail masuk ke sini setengah jam yang lalu—di sudut kantin. Titik yang membuatku lemah dan kuat di saat yang bersamaan. Titik yang membuatku merasakan sakit dan bahagia secara bersamaan. Anyelir.
      “Kukira melihat seorang Aryabima jatuh cinta adalah hal paling menjijikan di dunia. Ternyata melihatnya patah hati pun lebih menjijikan!” gerutuan Mikail semakin menjadi.
      Aku hanya mengangguk membenarkan. Yah, aku memang sedang patah hati. Patah hati karena gadis yang tak pernah menganggap keberadaanku di saat orang lain berlomba-lomba menoleh ke arahku.
      “Kukira memilikinya adalah satu-satunya cara agar aku terhindar dari kesakitan dan patah hati...”
      “Dan kau sukses mematahkan hatimu sendiri karena keputusan bodohmu. Komitmen terlalu rumit untuk ukuran bocah seperti kita. Di situ letak kesalahanmu,” tukas Mikail sinis.
      “Aku tidak pernah merasa bahwa ini salah...”
      “Yah, kau hanya mencintai orang yang kurang tepat, jika itu yang ingin sekali telinga panjangmu dengar!” geram Mikail terdengar jengkel.
      Mikail dan mulut pedasnya. Dua perpaduan yang pas. Dan dia selalu benar, mungkin aku hanya menjatuhkan pilihan pada orang yang kurang tepat. Tapi—hei, siapa juga yang dapat menyetir hatinya? Siapa yang dapat menentukan akan menjatuhkan hatinya pada siapa? Mikail sialan! Sepintar apapun dia dalam urusan berlogika, hatinya tumpul. Dia belum pernah berada dalam posisiku saja.
      Prang!
      Bunyi benda pecah belah beradu dengan keramik—yang  tertangkap ekor mata—membuatku mengalihkan perhatian sepenuhnya pada gadis yang telah kuamati sejak tadi. Anyelir terlihat sedang  berjongkok memunguti pecahan mangkuk dan gelas di sekitar mejanya. Dari tempatku duduk, bahunya terlihat bergetar sesekali.
      Anye, kau baik-baik saja, kan?
      ***
      “Anye...” bisikku usil pada gadis yang tengah sibuk menikmati batagor di piringnya. Pipinya terlihat menggembung, lucu sekali.
      “Jangan memanggilku seperti itu!” sungutnya dengan wajah tertekuk sebal.
      “Mamamu bilang aku boleh memanggilmu seperti itu...” bantahku yang membuat dia semakin geram.
      “Tapi aku tidak mau!”
      “Kenapa?” pancingku lagi.
      Saat ini kami sedang berada di taman belakang rumah Anye. Disini terdapat sebuah danau kecil buatan yang dinaungi oleh sebuah pohon besar dan dikelilingi bangku-bangku kecil, tempat aku dan Anye menghabiskan batagor.
      “Aku tidak suka.” Kutarik pipi Anye yang sedang menggembung penuh makanan dengan gemas.
      “Bima, sakiiit!” jeritnya keras, menjauhkan pipinya dari jangkauan tanganku. Sementara aku masih sibuk tergelak sambil menikmati wajah cantiknya yang terkena sinar matahari. Kukira visualisasi pada iklan pembersih wajah di TV itu terlalu mendramatisir, hanya sebatas hal-hal persuatif yang berfungsi untuk menarik minat pasar. Tapi sepertinya, wajah cerah Anye yang tertimpa sinar matahari benar-benar mengalihkan duniaku. Heish!
      “Tanganmu kotor, bodoh! Kalau sampai besok pipiku berjerawat, kukutuk kau jatuh cinta padaku!”
      Ada kemungkinan, dia hanya bercanda saat mengucapkan kata-kata seperti itu. Tapi cadaannya sama sekali tidak lucu. Candaan yang sekadar bernilai ‘hanya’ itu malah membuat sesuatu di sudut hatiku merasa terusik. Kurasakan tawaku sudah berhenti sejak tadi, berganti tegang yang tiba-tiba menjalar di sekujur tubuhku. Aku merasa seperti maling yang tertangkap basah.
      Aku berdehem untuk menetralisir degup jantung yang mulai menggila. Sepertinya darah tiba-tiba saja berlomba mengalir ke sana, memprotes untuk segera di pompa ke seluruh tubuhku dalam waktu bersamaan. Kurasakan tubuhku menghangat, sementara keringat dingin mengalir dari pelipisku.
      “Sepertinya kutukanmu bekerja lebih cepat,” ujarku tenang, berusaha mati-matian menjaga suaraku agar tidak bergetar karena terlalu gugup.
      “Ha?” raut terkejut milik Anye membuat sebuah keberanian menyelusup pelan dalam diriku.
      “Aku jatuh cinta padamu, sekarang,” lanjutku kemudian dengan senyum lebar.
      “Kau bercanda...”
      “Kau pacarku sekarang...”
      “Kau mabuk ya?”
      “Jika meminum segelas air jeruk bisa membuat orang mabuk, anggap saja begitu.”
      “Kau gila?”
      “Kau tidak tahu? Ini semua akibat kutukanmu beberapa saat yang lalu,” tanggapku sambil mengulum senyum di bibir.
      “Tidak mungkin kutukanku benar-benar mengenainya, kan?” gumam Anyelir  lebih kepada dirinya sendiri. Aku terkekeh geli.
      “Aku serius dengan ucapanku, Anyelir. Kita berpacaran sekarang.”
      “Coba saja kalau kau bisa membuatku jatuh cinta padamu!” dengusnya terlihat kesal dan merona pada saat yang bersamaan.
      “Akan kucoba. Dengan senang hati.”
      ***
      Gerakan tangannya mematung di udara. Pecahan gelas terakhir yang dia pegang terlepas begitu saja, jatuh terhempas bersama pecahan-pecahan gelas lain dalam nampan di hadapan kami. Dia terlihat menyedihkan, dengan kantung hitam tebal yang menggantung di bawah mata. Wajahnya terlihat lebih cekung dari terakhir kali kami bertemu.
      “Kau baik-baik saja?” dapat kurasakan nada cemas yang tertelan di ujung tenggorokanku. Pahit. Pahit rasanya melihat dia tidak seperti yang kuharapkan. Jelas, dia tidak baik-baik saja.
      “Bi... Bima?” sapanya tercekat. Wajahnya pucat sekali. Jangankan merona, aku tidak yakin ada darah yang mengalir di sana sekarang.
      “Kau terluka?” tanyaku tenang sambil meneliti jari-jarinya. Jari-jari kurus itu terlihat pucat dan sedikit bergetar. Kuraih tubuhnya yang terasa semakin kurus itu ke dalam rengkuhanku. Kubimbing dia berjalan meninggalkan kantin tanpa menggubris tatapan penuh tanya dari beberapa pengunjung.
      “A...aku baik-baik saja,” ujarnya terbata saat kami sudah berhasil keluar dari area kantin kampus. Dia terlihat seperti enggan berdekatan denganku.
      “Aku bisa melihatnya,” tukasku sinis. “Aku lihat kau baik-baik saja. Terlalu baik-baik saja hingga aku bisa melihat wajah mayat hidupmu,” lanjutku dengan nada semakin sinis. Bahkan aku tidak dapat mengendalikan nada dingin yang keluar dari mulutku.
      “Tentu. Aku sedang mencobanya. Aku baik...”
      “Hentikan semua omong kosongmu! Siapa yang sedang coba kau bohongi, hah?!” bentakku murka. Wajahku terasa panas. Seharusnya tidak begini, tapi aku bahkan tidak bisa mengendalikan diriku sendiri. Aku terlalu kecewa padanya. Hatiku terlalu kecewa. Terlalu sakit.
      “Diriku sendiri...” gumamnya lirih. Isakannya lolos begitu saja. Isakan itu serupa dengan belati. Belati tumpul dan berkarat yang mencoba mengoyak hatiku. Bahkan dengan pacarku yang sebelumnya aku tidak pernah  merasa seperti ini. Aku tidak pernah merasa seterluka ini saat melihat wanita menangis di hadapanku.
      Nice. Nice try...” tukasku muram. “Tidak usah bersusah payah membodohi dirimu sendiri. Tanpa melakukannya pun kau sudah terlihat bodoh. Jangan membuatku menyesal karena pernah menjatuhkan pilihan padamu.”
      “Memang itu yang sedang kulakukan. Membuatmu menyesal karena telah menyeretku dalam permainan konyolmu.” Apa? Dia bilang ini semua permainan konyol?
      “Konyol?” mataku menyipit tidak suka mendengar perkataannya barusan. Oke, ini terlalu kejam. Kata-katanya terlalu kejam untuk ukuran gadis mungil nan manis.
      Hah! Bahkan aku masih memikirkan betapa mungil dan manisnya gadis dengan mulut beracun di hadapanku ini. Sialan sekali kau Aryabima!
      “Apalagi yang bisa dikatakan untuk perjalanan kita?” raungnya tiba-tiba membuatku  terlonjak. Dia belum pernah menunjukkan sisinya yang seperti ini kepadaku. Dia yang hilang kontrol dan tak terkendali.
      “Selamat! Kau sudah berhasil membuatku jatuh cinta padamu! Aku bodoh ya? Nice try,  Bima!” dia membentakku. Tapi bentakkannya membuat sekujur tubuhku menghangat.
      “Lalu apa salahnya dengan jatuh cinta padaku? Kenapa kau memilih berpisah? Apa berpisah membuatmu lebih bahagia?”
      “Kuharap kau tidak melupakan posisimu...” lirihnya tanpa menjawab pertanyaanku. Diusapnya kasar air mata yang meleleh di pipinya. Pipinya sudah terlihat merah sekali. Aku ketakutan setengah mati kalau-kalau pipi itu akan lecet, melihat betapa kasarnya dia mengusap pipinya. Air mata sialan!
      “Apa? Posisi apa?” tanyaku emosi. Gadis ini benar-benar memberikan efek terlalu besar pada sistem kerja tubuhku.
      “Kau sepupuku,” ujarnya bergetar.
      “Sepupu jauh. Kita tidak memiliki ikatan darah sama sekali!” kukepal tangan kuat-kuat, berusaha merendamkan emosi yang menggelegak, mendidihkan tiap tetes darah dalam tubuhku. Aku benci dia mengungkit ini lagi.
      “Kau akan menjadi Kakak Iparku sebentar lagi, kalau kau lupa,” gumamnya lirih. Terdengar seperti sayatan pilu.  Kemudian ia berlalu dari hadapanku. Terlihat mantap, tanpa menoleh sedikitpun.
      Kupandang nanar punggung rampingnya yang terlihat bergetar sesekali. Dari luar, mungkin dia terlihat kuat dan berkilau seperti kaca yang berhasil keluar dari mesin furnish bersuhu di atas delapan ratus derajat celcius, yang mampu beradaptasi secara cepat dengan air dingin. Secepat ia leleh, secepat itu juga dia beku. Mungkin dia terlihat tegar dan kuat, tapi dia lupa. Sekuat-kuatnya kaca, dia akan hancur juga saat dibanting.
      Jadi... kita benar-benar berpisah sekarang? Lalu kenapa harus berpisah kalau ternyata kita saling mencintai? Untuk kebaikan yang seperti apa perpisahan kita ini? kita berkorban untuk siapa?
      Langkahnya semakin lama semakin menjauh. Menyadarkanku, semuanya takkan lagi sama setelah hari ini. Hidupku tak lagi sama. Ada lubang besar yang menganga di tengah dadaku. Lubang besar yang membuatku sulit bernapas. Lubang besar itu tadinya diisi oleh segumpal hatiku. Saat gadis itu beranjak, kusadari hatiku ikut pergi bersamanya. Aku mati. Tak yakin akan cinta lagi.
      *End*
      Sekaran, 2 Juni 2015


    • Posted by Refa Annisa
    • 0 Comments
    • Tag :
    • Readmore . . .
    • Add Comment

SAYANG-SAYANG DITIMPA MALANG



    • SAYANG-SAYANG DITIMPA MALANG
      Oleh: Gyta Ryandika
      ...ayam kampus, ayam siapa?
      Entah apa yang harus aku lakukan kali ini. Berhenti atau menyelesaikan hingga akhir? Jika dibatalkanpun rasanya tidak mungkin. Tamu undangan yang tak lain tetangga, kerabat, dan teman sudah berkumpul hendak menonton drama ini sampai akhir. Walau tak banyak dari mereka yang hadir.Aku menghela napas panjang, menoleh ke arah perempuan tengah baya yang jaraknya tiga meter dari tempatku berdiri. Ibu tersenyum dan menganggukkan kepala. Seketika rasa ragu buyar dari hadapanku. Hanya nama Amira bin Dardjo yang menjadi perhatian utamaku.
    • Posted by Unknown
    • 1 Comment
    • Tag :
    • Readmore . . .
    • Add Comment

First Snow

    • First Snow
      Oleh : Refa Ans
      Sora menatap origami berbentuk cranes di tangannya. Kertas itu tidak lagi terlihat baru. Ah, rasanya sudah lama sekali ia menerima origami itu darinya. Ini pula satu-satunya benda kenangan dari pemuda yang dulu amat ia cintai itu, meski tanpa pernah mengungkapkannya. Ia selalu merasa bahwa semua akan berubah ketika menyatakan itu seperti sebelumnya, ia takut hal seperti itu kembali lagi terjadi.
      Origami itu selalu terasa istimewa. Sebanyak apapun yang ia buat, bahkan dengan kertas yang jauh lebih bagus, origami itu selalu terasa lebih istimewa. Dirinya bahkan tidak pernah terpikir untuk membongkarnya meski telah sekian lama menyimpan itu dan tidak pernah bertemu dengannya lagi. Ia selalu menyimpan itu baik-baik, itulah kenang-kenangan terakhir darinya sebelum menghilang tanpa kabar.
      Sora menerawang ke langit gelap di balik jendela kamarnya. Dingin di luar sana seakan dapat ia rasakan. Kenangan saat menunggu pemuda itu di taman kembali terputar di benak. Kali itu, pertemuan terakhirnya dengan pemuda itu. Saat pemuda itu mengatakan ia menitipkan hatinya.
      Tangan Sora pelan-pelan bergerak membuka origami itu ketika teringat perkataan pemuda itu. Tentang hati. Menitipkannya. Seharusnya ia sadar dari dulu. Lipatan demi lipatan dilepaskannya. Hingga akhirnya tinggal bentuk dasar diamond. Bersamaan dengan itu segala kenangan dengannya kembali berputar. Di mana ia selalu memberi kenangan saat salju pertama. Bukan hanya itu, bahkan hampir di sepanjang masa SMA.
      Saat terbuka sepenuhnya, airmata Sora mengalir deras karena matanya menumbuk beberapa baris tulisan itu. Dan lagi-lagi, kali itu adalah salju pertama yang turun. Dari jendela Sora bisa menangkap butiran salju yang turun.
      ***
      “Salju pertama!” jerit Sora dengan wajah berhias senyuman ketika mendapati butiran salju hinggap di telapak tangannya. Banyak orang mengatakan jika kita mengucapkan harapan pada saat salju pertama turun ke bumi maka harapan itu akan terkabul. Sora percaya itu. Ia selalu menganggap ketika salju pertama turun dewa juga ikut turun menyambut salju di bawah dan mendengarkan semua harapan manusia saat itu. Entahlah hanya pikirannya saja atau memang sesuatu yang nyata, atau bahkan dipercaya banyak orang. Sora tidak peduli.
      Gadis berambut cokelat itu kemudian menautkan kedua tangannya dan mengucapkan harapan. Dirinya tidak berharap macam-macam, hanya permintaan seorang gadis yang membutuhkan teman karena hampir selalu kesepian. Yah, tampaknya tidak perlu disebutkan apa keinginannya.
      “Berharap pada salju pertama, eh?”
      Seketika Sora langsung membuka matanya dan menoleh saat mendengar sebuah suara bass di dekat telinganya. Seorang pemuda yang  menurut perkiraan seumur dengannya itu kini tengah memandang ke langit yang sudah gelap. Gadis itu menatap wajahnya sejenak. Bukan wajah asing, batinnya.
      “Ah, hai[1],” jawabnya sopan sambil memberikan seulas senyum. “Banyak orang, kan, yang percaya kalau salju pertama bisa mengabulkan harapan. Omong-omong, kamu siapa? Aku seperti tidak asing.” Siapa tahu memang benar, kan, Sora pernah melihat pemuda itu. Entah di sekolah atau tetangganya. Lagipula orang asing tidak mungkin tiba-tiba menyapanya seperti tadi.
      “Wah, rupanya kau belum tahu diriku, ya. Padahal aku mengenalmu, Aoki Sora dari kelas 1-A.”
      Sora hanya tersenyum ketika mendengar pengakuan pemuda itu. Yah, dirinya terbilang cukup sulit dalam mengingat nama seseorang. Apalagi ia memang tidak begitu banyak mengenal teman sekolahnya kecuali teman-teman sekelas dan teman klub melukis. Ah, itu pun tidak seluruhnya berhasil ia ingat dengan tepat nama dan wajahnya.
      Atashi wa Akita Ken desu. Aku dari kelas 1-B, tetanggamu.” Pemuda itu kemudian ber-ojigi[2] setelah menyebutkan namanya. “Yoroshiku.”
      Yoroshiku.” Sora kembali tersenyum setelah ikut ber-ojigi juga.
      “Jadi, kamu percaya kekuatan salju pertama?” Ken mulai mengajak Sora melanjutkan berjalan. Kalimat demi kalimat kemudian saling bertukar dari mulut keduanya. Di bawah salju yang melenggang turun dari langit keduanya berjalan bersama menuju rumah masing-masing.
      Ia tidak pernah tahu bahwa sejak saat itu Ken akan menjadi temannya. Ah, inikah kekuatan salju pertama?
      ***
      Tak bisa dibantah, rasa nyaman lama-kelamaan pasti akan melahirkan perasaan lain di dada. Di dalam dadamu akan ada perasaan yang begitu asing. Jantungmu akan berdegup lebih cepat, aliran darahmu bertambah deras, dan perasaanmu akan senang tak terkira ketika tahu dia ada di dekatmu.
      Itu pula yang Sora rasakan. Pelan-pelan tapi pasti, ia jatuh pada pesona Ken. Ken bukan sosok yang selalu dipuja para gadis. Dia hanya pemuda biasa-biasa saja, tapi hanya ia yang mampu membuat Sora jatuh cinta setengah mati—dengan cara selalu bisa membuat gadis itu merasa nyaman berada di dekatnya.
      Sayang, Sora terlalu takut untuk mengakui perasaannya itu, kembali jatuh cinta. Ia takut ketika pada akhirnya sudah jatuh terlalu dalam sepeti dulu, tetapi ternyata orang yang ia suka jauh memilih gadis lain. Karena itu ia kehilangan seorang teman, satu-satunya orang yang paling ia percaya.
      Itulah mengapa Sora selalu membohongi tentang perasaannya ada Ken. Segala alasan ia buat atas perasaan aneh—baca: jatuh cinta—itu. Ketika malam hari tiba-tiba wajah Ken berkelindan di kepala, ia hanya menganggap ingin bercerita kepada Ken. Bahkan ketika detak jantungnya tak wajar saat Ken menggandeng tangannya untuk menyeberang jalan, Sora hanya menganggap itu kaget karena Ken yang tak jarang menarik tangannya tiba-tiba.
      Begitu pula dengan saat ini, jantungnya terasa berdetak begitu cepat karena Ken menggandeng tangannya.
      "Kamu kedinginan?" Sejenak Ken menghentikan langkahnya. "Kalau memang kedinginan, bilang saja. Ah, udara memang begitu dingin. Seharusnya kita tadi tidak usah mengerjakan tugas di sekolah dulu. Bagaimana bisa, sih, aku lupa kalau ini sudah di awal musim dingin?"
      Sora hanya tersenyum. Seperti biasa, Ken memang begitu. Ia terlalu sering menyalahkan diri sendiri walaupun terkadang itu bukan salahnya.
      "Sudah, tak apa. Lebih baik kita secepatnya pulang," kata Sora bermaksud mengajak pemuda itu kembali berjalan.Ia tidak ingin terus-terusan merasakan perasaannya yang tak karuan itu.
      "Baiklah, ayo." Tanpa diduga, Ken langsung memasukkan tangan mereka yang bertautan tadi ke dalam saku mantelnya.
      Sora langsung tersentak kaget, tapi di tengah kekagetannya itu, ia merasakan kini hangat bukan hanya menyelimuti tangannya yang digenggam Ken dalam saku mantel. Badannya juga. Hatinya. Bahkan lidahnya terasa kelu untuk menolak itu. Ia merasa begitu nyaman.
      Bukankah Ken memang selalu begitu?
      Lagi-lagi Sora mulai membela diri menampik kenyataan. Ia masih bersi-keras tidak mau mengakui perasaannya.
      "Ken, doushite?"
      "Eh?"
      Tanpa Sora sadar akhirnya pertanyaan di ujung lidah yang tadi tak bisa terlepas kini meloncat keluar. Kenyang tadi fokus pada jalanan langsung menoleh ke arah Sora. Kedua alisnya terangkat, sorot matanya menyiratkan keheranan. Degup jantung Sora pun semakin tidak keruan.
      Kami-sama, aku tidak ingin jatuh cinta kepadanya, aku tidak ingin terluka lagi, dalam hati Sora memohon.
      "Mengapa kamu begitu perduli padaku?" Sora meluncurkan pertanyaan yang sama sekali tidak pernah terpikirkan olehnya. Dalam hatinya ia merasa begitu cemas menanti jawaban dari mulut Ken. Sadar atau tidak, kini sebenarnya dalam hati Sora berharap bahwa Ken akan mengatakan itu karena ia mencintainya. Baiklah, anggap saja Sora hanya berangan-angan. Karena ia ‘tidak-jatuh-cinta-kepadanya’.
      Ken kemudian menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah Sora. Matanya mengunci mata Sora. "Karena aku ingin terus melindungimu, menjaga agar senyumanmu tidak hilang dari sana."
      Terasa sebuah hantaman di ulu hati Sora ketika mendengar itu. Ia tidak lagi bisa mengelak. Perkataan itu membuatnya merasa semakin hangat dan rasa senang seakan Ken memang mengucapkan apa yang diharapkannya.Sora dapat merasakan kini mukanya begitu hangat.
      Saat itu juga, Sora luluh dengan kenyataan. Ia kalah, tamengnya telah hancur berkeping-keping. Sebongkah kepercayaan membuat gadis itu yakin, bahwa Ken adalah sosok lain yang berhak ia cintai.
      Sekarang, Sora mengakuinya. Sora mencintai Ken. Bersamaan itu, salju pertama tahun ini turun.Salju pertama, selalu saja tentang Ken.
      ***
      Apakah salju pertama selalu tentang keinginan?
      Sora termenung di beranda rumahnya sore ini. Tanpa pernah terasa, tiba-tiba saja ini sudah awal musim dingin lagi. Sudah selama itu dirinya diam-diam jatuh cinta  pada Ken. Tak seorang pun ia biarkan tahu. Ah, mengapa sampai saat ini ia belum juga mempunyai keberanian,
      Gadis berambut cokelat sepunggung itu menghela napas berat. Hawa dingin yang bersentuhan dengan kulit tak dihiraukannya. Ia kembali terdiam, membiarkan sosok Ken memenuhi benaknya. Pikirannya melayang-layang ke kenangan mereka dua tahun terakhir ini.
      Drrrt..., drrrt....
      Tiba-tiba ada notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Tanpa berpikir panjang,ia langsung menghidupkan ponsel. Nama Ken tertera di sana. Dengan gerakan kilat, Sora membuka pesan itu.
      Sora-chan, bisa kita bertemu? Tunggu aku di taman, ya. Pukul 7 malam ini.
      Sora langsung mengamati teks itu berkali-kali. Heran. Ken tidak biasanya mengirim pesan kecuali terlalu penting. Ken mengaku ponsel memusingkannya. Hah, Sora tidak tahu mengapa. Padahal kebanyakan anak muda seusia mereka begitu tergila-gila dengan benda itu.
      Ada apa ini?
      Ya, kutunggu di sana.
      Tak banyak tanya, Sora hanya menyetujui itu. Tak seorang pun tahu apa yang akan terjadi saat itu. Sebuah pertemuan yang rahasianya akan terbuka di masa depan.
      ***
      Tak terasa sudah hampir dua jam Sora menunggudi kursi taman bawah pohon sakura yang kini kering tak berdaun dan Ken belum juga datang. Padahal udara begitu dingin. Sampai setiap kali ia menghembuskan napas keluar asap putih. Kegelisahan kini menyelimutinya.
      Bagaimana bisa Ken belum juga datang? Sekali lagi Sora melihat ke pergelangan tangan kirinya. Jam sembilan lebih semenit. Air mata kemudian menggenang di pelupuk matanya. Keyakinannya bahwa Ken akan datang mulai ludar. Belum lagi dengan rasa dingin yang terus berusaha dilawan oleh mantelnya, meski tak jarang menelisik masuk dari lubang-lubang kecil.
      Berkali-kali Sora menahan diri untuk tidak menangis. Harus ia akui, ia kecewa dengan Ken. Pelupuknya tidak lagi kuat membendung airmata. Cairan bening itu lalu meluncur turun. Tangis Sora pecah saat itu juga. Berkali-kali tangannya berusaha mengusap air mata. Namun sebanyak apapun ia mencoba, air mata itu tak juga habis. Terus saja jatuh bagaikan hujan saat tsuyu datang.
      "Nakanai de, Sora-chan[3]."
      Sebuah pelukan hangat dari belakangkemudian melingkari leher Sora. Air matanya justru turun semakin deras ketika mendapati kini dirinya dipeluk oleh sosok yang ia tunggu.
      "Aku di sini, maafkan aku sudah membuatmu menunggu, Sora-chan." Ken mengeratkan pelukannya pada Sora. Perlahan di dalam dadanya seperti ada sesuatu yang remuk. Hatinya patah. Bukan karena melihatnya menangis, tapi jika menyadari waktu.
      Sora masih saja belum bisa menghentikan linangan airmatanya. Firasatnya kali itu merasa tidak enak saat mendengar nada bicara Ken barusan. Ia pun tidak berani menatap mata hitam Ken. Hanya dibiarkan Ken memeluknya begitu erat.
      "Arigatou. Maafkan aku membuatmu menungguku." Ken berbisik pelan ke telinga Sora. "Walaupun sebenarnya tidak ada yang harus kukatakan, aku hanya ingin bertemu denganmu."
      Dapat Sora rasakan kini ada air mata yang menetes di lehernya. "Kamu..., menangis, Ken?"tanya Sora dengan suara bergetar. Bagaimana bisa Ken yang ia tahu begitu tegar kini menangis?
      "Aku hanya bahagia bisa mengenalmu."
      Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir Sora. Hanya air matanya yang terus mengalir. Dirinya tidak bisa berusaha kuat jika seseorang yang selama ini selalu menguatkannya justru menangis sepeti itu
      "Ada apa sebenarnya, Ken?"Sora berbalik. Matanya dan Ken kini bertatapan. Sora bisa melihat mata itu begitu sendu sarat dengan kesedihan.
      "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin bertemu denganmu saja. Jangan menangis, tersenyumlah, Sora-chan. Aku selalu merasa hangat ketika melihatnya, senyummu bagai langit musim semi yang cerah." Ken mengusap aliran airmata di pipi Sora. Seulas senyum kini terulas di wajahnya, meski linangan airmata dari sana belum terusap bersih.
      Sora tersenyum kemudian diikuti dengan Ken. Mereka memaksakan diri walaupun sebenarnya hati mereka remuk seremuk-remuknya malam itu.
      "Satu lagi, aku ingin memberikan origami ini untukmu." Ken lalu mengeluarkan origami cranes yang belum sempurna itu dari saku mantelnya. Disempurnakannya origami itu sebelum diberikan kepada Sora."Tolong simpan ini. Ini adalah hatiku."
      Lagi dan lagi, mata Sora menangkap salju pertama turun. Pertanda apa pada salju kali ini?
      ***
      Sora tidak menyangka apa yang kini tertulis di sana. Beberapa kalimat yang tidak pernah ia duga. Beberapa keanehan yang tidak terlalu ia perdulikan kini seperti terjelaskan sejelas-jelasnya. Bagai seekor rusa yang dikuliti, Sora baru mengetahui siapa Ken. Dan ia tidak bisa menerima itu.
      Keanehan seperti Ken yang gagap teknologi, bisa menceritakan kejadian belasan tahun lalu seakan melihatnya sendiri, dan dari gaya berpakaiannya.
      Mengapa harus begini?
      Daisuki dayo[4], Sora-chan. Maafkan aku terlambat mengungkapkannya. Tetapi percayalah begini lebih baik daripada aku meninggalkanmu dan perasaanku tanpa sepatah kata pun perpisahan. Andai saja aku bisa menghabiskan waktu lebih lama di masa ini tanpa harus kembali ke masa lalu.
      Kami-sama, tolong jelaskan apa maksud semua drama ini….”
      Sora menenggelamkan kepala ke lipatan tangannya di meja. Tangisnya keluar, seluruh rasa sakit yang hatinya simpan ia keluarkan. Tanpa terkecuali.



      [1] Ya
      [2] Membungkuk
      [3] Jangan menangis, Sora.
      [4] Aku menyukaimu.
    • Posted by Refa Annisa
    • 0 Comments
    • Tag :
    • Readmore . . .
    • Add Comment

Cerpen Pilihan Kloter Kedua

Popular Post

Followers

Definition List

Powered by Blogger.

- Copyright © 2013 Kampus Fiksi 11 - Oreshura - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -